Or can be downloaded on http://www.ziddu.com/download/19364643/Salmonellatyphi.rar.html
Art & Foodstuff
Grow with ART and FOOD
Friday, May 11, 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman yang serba canggih ini semua penyakit dapat di ketahui penyebabnya. Berbagai penyakit biasanya di sebabkan oleh faktor tunggal atau multifaktor.Salah satu bagian tubuhh kita yang rentan akan penyakit adalah sistem pncernaan kita.Berbagai penyakit pencernaan banyak ditemukan seiring berjalannya waktu. Penyakit banyak disebabkan oleh faktor lingkungan dan sanitasi yang buruk serta makanan yang tidak terjaga.Penyakit yang mengganggu sistem pencernaan ialah seperti diare,maag,ulcer pada usus,nyeri lambung,demam tipoid dan lain lain.
Demam tipoid merupakan penyakit yang disebabkan Salmonella typhi yang menyebabkan masalah berbagai masalah kesehatan serius. Typhus abdominalis adalah penyakit infeksi akut pada usus halus yang biasanya lebih ringan dan menunjukkan manifestasi klinis yang sama dengan enteritis akut, oleh karena itu penyakit ini disebut juga penyakit demam enterik1. Demam tipoid adalah penyakit yang sering timbul atau terjadi di negara negara berkembang.
Demam tipoid terjadi akibat sanitasi lingkungan yang buruk yang membuat tumbuhnya Salmonella typhi, dan keadaan lingkungan yang seperti ini sering atau banyak dijumpai pada negara negara berkembang. Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak, namun tidak tertutup kemungkinan untuk orang muda/dewasa1. Kuman ini terdapat didalam kotoran, urine manusia, dan juga pada makanan dan minuman yang tercemar kuman yang dibawa oleh lalat1.
Penyakit ini dapat relaps atau terus menerus kambuh pada saat sistem imun host menurun. Pada saat Salmonella typhi masuk dalam tubuh manusia yang daya tahannya baik bakteri ini tidak menimbulkan reaksi penyakit namun kuman pada tubuh host masih bersembunyi (dorman) sehingga pada saat imunitas host menurun kuman ini akan keluar dari persembunyiannya dan menimbulkan efek atau gejala gejala penyakit demam tipoid.
Penyakit ini dapat relaps atau terus menerus kambuh pada saat sistem imun host menurun. Pada saat Salmonella typhi masuk dalam tubuh manusia yang daya tahannya baik bakteri ini tidak menimbulkan reaksi penyakit namun kuman pada tubuh host masih bersembunyi (dorman) sehingga pada saat imunitas host menurun kuman ini akan keluar dari persembunyiannya dan menimbulkan efek atau gejala gejala penyakit demam tipoid.
Rumusan Masalah
1. Mengapa Salmonella typhi disebut sebagai foodborne agent ?
2. Bagaimana cara bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia dan menyebabkan penyakit demam tipoid ?
3. Bagaimana cara pencegahan penyakit ?
B. Tujuan
1. Mengetahui bahaya Salmonella typhi sebagai foodborne agent
2. Mengetahui cara invasi Salmonella typhi .
3. Mengetahui cara pencegahan penyakit demam tifoid akibat Salmonella typhi.
C. Manfaat
1. Menambah informasi dan ilmu tentang bakteri yang menyebabkan penyakit tifus.
2. Memberikan pengetahuan tentang cara mencegah penyakit tifus.
BAB 2
BAKTERI Salmonella typhi
BAKTERI Salmonella typhi
2.1. Morfologi dan Fisiologi
Salmonella typhi merupakan bakteri famili Enterobacteriaceae yang hanya menginfeksi manusia dan menyebabkan demam typhoid. S. typhi adalah bakteri gram negatif, berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi mempunyai flagel feritrik (fimbrae)1. Ukurannya 2 - 4 mikrometer x 0,5 – 0,8 mikrometer dan bergerak1. Pada biakan agar darah koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 millimeter, bulat, agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis (Gupte, 1990)1.
Salmonella typhi merupakan bakteri famili Enterobacteriaceae yang hanya menginfeksi manusia dan menyebabkan demam typhoid. S. typhi adalah bakteri gram negatif, berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi mempunyai flagel feritrik (fimbrae)1. Ukurannya 2 - 4 mikrometer x 0,5 – 0,8 mikrometer dan bergerak1. Pada biakan agar darah koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 millimeter, bulat, agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis (Gupte, 1990)1.
Gambar 1 (a)7, (b)Bakteri Salmonela typhi dengan pewarnaan garam
S. typhi dapat hidup dalam kondisi aerobik (membutuhkan O2) dan anaerobik fakultatif (dapat menggunakan O¬2, tapi bisa juga tumbuh tanpa O¬2)1. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu antara 5 – 47 oC, dengan suhu optimum 35 – 37 oC2. Beberapa sel tetap dapat hidup selama penyimpanan beku2. S. typhi dapat tumbuh pada pH 4,1- 9,0 dengan pH optimum 6,5-7,52.
Dalam larutan asam asetat dengan pH 5,4 dan asam sitrat pH 4,05 bakteri S. typhi masih dapat tumbuh3. Perubahan pH yang sangat ekstrim menyebabkan bakteri akan mati3. Kondisi pH optimum yang diperlukan untuk pertumbuhan dengan menggunakan asam laktat dan asam asetat3.
Dalam larutan asam asetat dengan pH 5,4 dan asam sitrat pH 4,05 bakteri S. typhi masih dapat tumbuh3. Perubahan pH yang sangat ekstrim menyebabkan bakteri akan mati3. Kondisi pH optimum yang diperlukan untuk pertumbuhan dengan menggunakan asam laktat dan asam asetat3.
Tabel 1 Batasan suhu, pH, aktivitas air (aw) optimal untuk pertumbuhan Salmonella spp (Baumler et al. 1998)3
S. typhi dapat memproduksi H2S tetapi tidak dapat membentuk gas dari glukosa2. Berbeda dengan lainnya, S. typhi tidak menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, tidak dapat melakukan dekarboksilasi terhadap ornitin, dan tidak memfermentasi rhamnosa2. Pada agar SS, Endo, EMB dan MacConkey koloni kuman berbentuk bulat, kecil dan tidak berwana, pada agar Wilson Blair koloni kuman berwarna hitam berkilat logam akibat pembentukan H2S1.
S. typhi dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada lingkungan tertentu3. Bakteri tersebut memiliki beberapa perbedaan mekanisme untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Foster dan Spector, 1995)3. Hal ini yang memungkinkan bakteri tersebut mampu mempertahankan hidupnya pada saat terjadi perubahan lingkungan secara tiba-tiba dan mampu bertahan pada waktu lama di lingkungan yang berbeda-beda3.
S. typhi dapat diisolasi dari beberapa sumber termasuk limbah peternakan, limbah manusia dan air3. Berdasarkan hasil penelitian Forshell dan Ekesbo (1996) dan Baloda (2001), bakteri ini dapat bertahan pada bagian permukaan, kotoran dan feses kering yang tidak terkena sinar matahari3. Bakteri ini akan mati karena sinar matahari atau pada pemanasan dengan suhu 60oC selama 15 – 20 menit, juga dapat dibunuh dengan cara pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi serta pada keadaan kering1. Disamping itu dapat hidup subur pada medium yang mengandung garam metil, tahan terhadap zat warna hijau brilian dan senyawa natrium tetrationat dan natrium deoksikolat1. Senyawa-senyawa ini menghambat pertumbuhan kuman koliform sehingga senyawa-senyawa tersebut dapat digunakan didalam media untuk isolasi Salmonella dari tinja (Gupte, 1990)1.
S. typhi dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada lingkungan tertentu3. Bakteri tersebut memiliki beberapa perbedaan mekanisme untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Foster dan Spector, 1995)3. Hal ini yang memungkinkan bakteri tersebut mampu mempertahankan hidupnya pada saat terjadi perubahan lingkungan secara tiba-tiba dan mampu bertahan pada waktu lama di lingkungan yang berbeda-beda3.
S. typhi dapat diisolasi dari beberapa sumber termasuk limbah peternakan, limbah manusia dan air3. Berdasarkan hasil penelitian Forshell dan Ekesbo (1996) dan Baloda (2001), bakteri ini dapat bertahan pada bagian permukaan, kotoran dan feses kering yang tidak terkena sinar matahari3. Bakteri ini akan mati karena sinar matahari atau pada pemanasan dengan suhu 60oC selama 15 – 20 menit, juga dapat dibunuh dengan cara pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi serta pada keadaan kering1. Disamping itu dapat hidup subur pada medium yang mengandung garam metil, tahan terhadap zat warna hijau brilian dan senyawa natrium tetrationat dan natrium deoksikolat1. Senyawa-senyawa ini menghambat pertumbuhan kuman koliform sehingga senyawa-senyawa tersebut dapat digunakan didalam media untuk isolasi Salmonella dari tinja (Gupte, 1990)1.
2.2. Taksonomi
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Order : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Spesies : typhi
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Order : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Spesies : typhi
2.3. Klasifikasi dan Struktur Antigen
Berdasarkan keterkaitan susunan DNA, S. typhi termasuk jenis Salmonella serogrup D.
Berdasarkan keterkaitan susunan DNA, S. typhi termasuk jenis Salmonella serogrup D.
Tabel 2 Taksonimi genus Salmonella dengan serogrup dan serovar4
Sedangkan berdasarkan fermentasi karbohidrat dan produksi gas bakteri S. typhi dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 3 Perbedaan karakteristik metabolik dari Salmonella5
Berdasarkan struktur antigennya, S. typhi memiliki antigen somatik (O), antigen flagelar (H) dan antigen kapsular (Vi).
Tabel 4 Struktur antigen dari Salmonella2
2.4. Resistensi terhadap Antibiotik
Penggunaan atibiotik sebagai antimikroba dengan dosis yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi bakteri terhadap antimikroba. Munculnya resistensi bakteri terhadap animikroba disebabkan oleh adanya peran gen resistensi baik yang bersifat permanen dalam kromosom bakteri maupun yang dapat berpindah antar bakteri melalui perpindahan plasmid atau transporon3.
Gen resistensi antimikroba merupakan gen yang mengendalikan suatu enzim yang dapat mengubah aktivitas kerja antimikroba spesifik menjadi produk yang tidak berbahaya sehingga bakteri tersebut dapat melindungi dirinya dari efek antimikroba yang mematikan3. Gen bakteri yang mengendalikan sifat resistensi antimikroba umumnya spesifik terhadap antimikroba atau golongan antimikroba tertentu, tetapi beberapa gen resistensi dapat mengendalikan satu jenis atau golongan antimikroba yang sama3.
S. typhi merupakan salah satu bakteri yang dapat resisten terhadap antibiotik. Sejarah resistensi S. typhi terhadap anibiotik dapat dilihat sebagai berikut6 :
Penggunaan atibiotik sebagai antimikroba dengan dosis yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi bakteri terhadap antimikroba. Munculnya resistensi bakteri terhadap animikroba disebabkan oleh adanya peran gen resistensi baik yang bersifat permanen dalam kromosom bakteri maupun yang dapat berpindah antar bakteri melalui perpindahan plasmid atau transporon3.
Gen resistensi antimikroba merupakan gen yang mengendalikan suatu enzim yang dapat mengubah aktivitas kerja antimikroba spesifik menjadi produk yang tidak berbahaya sehingga bakteri tersebut dapat melindungi dirinya dari efek antimikroba yang mematikan3. Gen bakteri yang mengendalikan sifat resistensi antimikroba umumnya spesifik terhadap antimikroba atau golongan antimikroba tertentu, tetapi beberapa gen resistensi dapat mengendalikan satu jenis atau golongan antimikroba yang sama3.
S. typhi merupakan salah satu bakteri yang dapat resisten terhadap antibiotik. Sejarah resistensi S. typhi terhadap anibiotik dapat dilihat sebagai berikut6 :
2.5. Standar Salmonella pada Pangan3
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tahun 2000 tentang Batasan Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan menetapkan bahwa standar kontainasi Salmonella spp (termasuk Salmonella typhi) dalam pangan asal hewan (daging, telur dan susu) adalah negatif, sedangkan berdasarkan standar internasional yang mengatur tentang keamanan pangan yaitu Codex Alimentarius Commision (CAC) hanya mengatur batas maksimum kontaminasi Salmonella spp pada pangan yang siap untuk dikonsumsi. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat tidak menetapkan standar maksimal cemaran Salmonella spp, tetapi menerapkan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) secara ketat dan melakukan proses pencegahan, eliminasi, dan mengurangi kontaminasi Salmonella spp pada pangan asal hewan. Kegiatan tersebut dievaluasi dan dipantau oleh suatu lembaga pemerintah yaitu Food Safety and Inspection Services (FSIS).
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tahun 2000 tentang Batasan Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan menetapkan bahwa standar kontainasi Salmonella spp (termasuk Salmonella typhi) dalam pangan asal hewan (daging, telur dan susu) adalah negatif, sedangkan berdasarkan standar internasional yang mengatur tentang keamanan pangan yaitu Codex Alimentarius Commision (CAC) hanya mengatur batas maksimum kontaminasi Salmonella spp pada pangan yang siap untuk dikonsumsi. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat tidak menetapkan standar maksimal cemaran Salmonella spp, tetapi menerapkan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) secara ketat dan melakukan proses pencegahan, eliminasi, dan mengurangi kontaminasi Salmonella spp pada pangan asal hewan. Kegiatan tersebut dievaluasi dan dipantau oleh suatu lembaga pemerintah yaitu Food Safety and Inspection Services (FSIS).
2.6. Foodborne Disease
Klasifikasi penyakit yang dibawa oleh makanan dan etiologinya :8
Klasifikasi penyakit yang dibawa oleh makanan dan etiologinya :8
Persentase perjangkitan penyakit yang disebabkan karena makanan :8
BAB 3
PENYAKIT AKIBAT Salmonella typhi
PENYAKIT AKIBAT Salmonella typhi
Demam Typhoid
3.1. Definisi18 Demam typhoid dikenal juga dengan penyakit tifus. Typhoid berasal dari kata Yunani yang berarti ‘smoke’, karena terjadi penguapan panas tubuh serta gangguan kesadaran yang disebabkan demam yang tinggi. Merupakan penyakit infeksi perut akut dikarenakan Salmonella typhi.
3.1. Definisi18 Demam typhoid dikenal juga dengan penyakit tifus. Typhoid berasal dari kata Yunani yang berarti ‘smoke’, karena terjadi penguapan panas tubuh serta gangguan kesadaran yang disebabkan demam yang tinggi. Merupakan penyakit infeksi perut akut dikarenakan Salmonella typhi.
3.2. Sejarah9, 10
Pembawa tifus pertama diidentifikasi di US, dari Mary Mallon (1868-1938), dan ditemukan asimtomatik (tidak menunjukkan gejala). Dia bekerja sebagai penyedia makan di beberapa lokasi, dan pada akhir karir bekerjanya, telah menginfeksi setidaknya 51 orang secara langsung, 3 diantaranya meninggal, juga menginfeksi banyak orang secara tidak langsung. Pada musim panas 1906, keluarga bankir Charles Warrens yang terdiri dari 3 orang bersama 7 orang pelayannya, menyewa rumah. Enam di antaranya terkena demam tifus. Warrens ingin mengetahui bagaimana menjangkitnya penyakit dimulai. Lalu mereka menyewa ahli kebersihan, George Soper. Dia memeriksa makanan, minuman, dan susu di rumah dari bibit tifus, dan ia tidak menemukannya. Lalu Soper mengetahui bahwa Warrens mempekerjakan pemasak baru 3 minggu sebelum penyakit menyerang. Mary Mallon, tukang masak tersebut ditelusuri, dan ditemukan sejak 1900 ia sudah bekerja sebagai tukang masak untuk 7 keluarga. 22 orang dari rumah tangga tersebut terkena tifus setelah Mary menyiapkan makanan untuk mereka, 1 gadis meninggal.
Kemudian Soper terus melacak Mary, pada Maret 1907, ia bekerja sebagai pemasak untuk sebuah keluarga di kota New York. Soper ingin mengambil sampel kotoran, darah, dan urin untuk diperiksa dari bibit tifus, namun Mary menolak. Mary tidak percaya bahwa ia menyebarkan penyakit tersebut karena ia tidak pernah menderita tifus. Kebanyakan penderita tifus memiliki gejala, namun ada beberapa orang yang memiliki bibit tifus namun tidak menunjukkan gejala (pembawa atau carrier). Mary Mallon adalah carrier.
Tidak mampu menangani sendiri, Soper menghubungi Departemen Kesehatan Kota New York. Dr. Sara Josephine Baker dan 5 petugas kepolisian datang ke tempat Mary bekerja. Namun saat melihat mereka datang, Mary bersembunyi, setelah dicari selama 5 jam, ia ditemukan bersembunyi di lemari dinding. Petugas kesehatan ingin menghentikan penyebaran tifus, kemudian ia dibawa ke RS, dikarantina dan diletakkan di pondok dekat rumah sakit. Ia dipaksa tinggal selama hampir 3 tahun. Kemudian ia menyewa pengacara dan disidangkan, namun akhirnya dihentikan oleh haikm. Pada 1910 ia dibebaskan dengan janji tidak akan memasak untuk orang lain dan melaporkan diri setiap 3 bulan ke Departemen Kesehatan. Awalnya ia taat, namun kelamaan ia menghilang. Ia mencoba pekerjaan lain, tapi tidak ada yang sebaik gaji memasak, sehingga ia kembali memasak dengan mengganti nama.
Pada Januari dan Februari 1915, 25 karyawan (kebanyakan perawat dan pelayan) di Rumah Sakit Sloane di Manhattan terkena demam tifus, 2 di antaranya meninggal. Ternyata Mary telah bekerja di RS selama 3 bulan sebelum kasus pertama dilaporkan. Ia kembali menghilang, namun ditangkap di kediamannya dan kembali dikarantina selama 23 tahun sampai pada kematiannya. Sehingga dulu dikenal dengan sebutan ‘Tifus Mary’.
3.3. Etiologi
Grup D dari Salmonella serotipe typhi, yang memiliki 3 antigen dan terletak di kapsul sel. H merupakan antigen flagella, O merupakan antigen dinding sel atau somatik, dan Vi adalah antigen envelope K.
3.4. Transmisi dan Penyebaran
Hampir semua makanan dapat terkontaminasi Salmonella, namun yang pernah menjadi perjangkitan penyakit, terdapat pada telur mrntah, daging mentah (daging sapi cincang dan daging lain yang kurang matang), produk telur, sayuran segar, sereal, kacang pistasio, tomat, dan air yang terkontaminasi.11, 12Perjangkitan bakteri ini biasa terdapat di kota yang daerah pemukimannya kumuh dan infrastruktur yang buruk. Umumnya dikaitkan dengan kemiskinan, tidak tersedianya sistem pembuangan limbah manusia dan air sehat, serta sistem pengairan dan sanitasi yang buruk. 13Jalur transmisi dan penyebaran:
o Fecal-oral
Diakibatkan karena penangan makanan (carrier maupun penderita tifus) tidak mencuci tangan setelah menggunakan kamar mandi, lalu menangani makanan, sehingga makanan terkontaminasi bakteri S. Typhi, dan dikonsumsi orang lain.
o Kontak langsung dengan penderita atau carrier
Semisal makan makanan sisa penderita (biasanya terjadi pada anak ke ibu yang memakan makanan sisa anaknya yang sakit tifus).
o Air dan makanan yang terkontaminasi
Mengonsumsi air dan makanan yang tercemar S. Typhi. Atau melalui penggunaan air untuk mencuci makanan.
o Serangga
Seperti lalat, kecoa, dan sebagainya yang memungkinkan kontak langsung ke makanan, dan tanpa diketahui membawa bakteri S. Typhi.
3.5. Patogenesis3
Saat S. Typhi masuk secara oral (melalui mulut) dan interaksi dengan saluran cerna, diperlukan lebih dari 105 bakteri untuk menginfeksi. Sebenarnya ada mekanisme pertahanan, yaitu dengan asam lambung, namun jika jumlah terlalu banyak, tetap ada yang lolos, masuk ke usus halus. Di usus halus, bakteri tersebut melakukan penetrasi ke lapisan mukosa usus, kemudian masuk ke fagosit mononuklear dari peyer’s patch di ileum dan limfe nodi. Setelah berproliferasi di fagosit mononuklear, bakteri tersebut keluar dan menyebar ke darah (bakteremia setelah melalui masa inkubasi).
Darah membawa bakteri memasuki limpa, hati, dan sumsum tulang (sistem retikulo-endotelial), dan proliferasi lebih lanjut terjadi. Hal itu mengakibatkan bakteremia kedua (lebih banyak lagi bakteri yang masuk ke darah). Baru setelah itu masuk tahap penyembuhan.
3.6. Kerentanan dan Imunitas
Semua orang tanpa terkecuali rentan terkena infeksi S. Typhi. Imunitas yang didapat (acquired) bisa mencegah re-infeksi. Imunitas tidak berhubungan dengan kadar antibodi bakteri dengan antigen H, O, ataupun Vi. Namun tidak menutup kemungkinan jika sudah pernah terkena penyakit tifus, akan terkena penyakit paratifus, karena tidak ada hubungan pada imunitasnya.
3.7. Patologi
Penyakit ini melalui beberapa tahap. Pada masa inkubasi (tahap I), tidak didapati gejala apapun. Pada tahap II, sudah terjadi gejala awal, namun tidak spesifik, seperti sakit kepala, nyeri tubuh, sampai demam tapi tidak terlalu tinggi. Jika tidak ditangani, akan timbul demam tinggi (demam cenderung muncul pada malam hari, kemudian membaik pada pagi dan siang hari) dalam waktu 2-3 hari, dengan suhu sekitar 39 – 41oC, pengurangan kesadaran, dan nyeri perut (splenomegali). Suhu tubuh tinggi dapat terjadi selama lebih dari 3 minggu. Awalnya mungkin terjadi konstipasi, kemudian disusul dengan diare dan rose spot (lesi warna merah) kebanyakan pada kulit sekitar perut.144 tahap perjalanan penyakit :
o Tahap awal
Setelah melalui masa inkubasi, tahap awal terjadi pada minggu pertama. Gejala masih tidak tampak, mungkin timbul demam, gejala masih belum spesifik.
o Tahap fastigium (puncaknya)
Terjadi pada minggu ke-2 dan 3. Terjadi demam tinggi yang tak menentu selama 10-14 hari.
o Tahap defervescence (penurunan suhu tubuh ke normal)
Demam dan gejala lain berkurang setelah minggu ke-4.
o Tahap penyembuhan
Pada minggu ke-5, semua gejala hilang. Namun bisa kambuh.
o Relapse (jika kambuh)
Hasil posotof terhadap serum S. Typhi setelah 1-3 minggu suhu tubuh normal. Tanda dan gejala dapat muncul kembali, dikarenakan bakteri tidak sepenuhnya hilang (bersembunyi). Pada beberapa kasus, kambuh bisa terjadi lebih dari sekali.
3.8. Manifestasi Klinis
Sesuai tahap patologisnya, manifestasi klinis dapat dibedakan :
o Tahap awal
Gejala masih tidak tampak, mungkin timbul demam, gejala masih belum spesifik.
o Tahap fastigium (puncaknya)
Dengan gejala :
- saluran cerna : nyeri perut, diare atau konstipasi
- neuropsikiatri : pusing, respon menurun, bahkan mengigau dan koma atau meningisme
- sistem sirkulasi : bradikardi atau detak tak normal.
- Splenomegali dan hepatomegali : hepatitis karena toksik.
- Roseola
o Tahap defervescence (penurunan suhu tubuh ke normal)
Demam mulai turun, perbaikan semua tanda dan gejala mulai nampak, namun tetap bahaya jika tidak ditangani serius.
o Tahap penyembuhan
Pada minggu ke-5, semua gejala hilang. Namun bisa kambuh.
Pada bagian bawah ileum :
o Tahap hiperplasia (minggu pertama)
Pembengkakan jaringan limfoid dan proliferasi makrofag.
o Tahap nekrosis (minggu kedua)
Nekrosis (mengeras) pada bengkak limfe nodi atau folikelnya.
o Tahap ulserasi (minggu ketiga)
Peluruhan jaringan nekrosis dan pembentukan ulser (luka). Biasanya terjadi pendarahan intestinal (usus) dan perforasi.
o Tahap hiperplasia (minggu pertama)
Pembengkakan jaringan limfoid dan proliferasi makrofag.
o Tahap nekrosis (minggu kedua)
Nekrosis (mengeras) pada bengkak limfe nodi atau folikelnya.
o Tahap ulserasi (minggu ketiga)
Peluruhan jaringan nekrosis dan pembentukan ulser (luka). Biasanya terjadi pendarahan intestinal (usus) dan perforasi.
Bentuk klinis :
o Infeksi ringan :
- suhu sekitar 380C
- periode sakit sebentar (penyembuhan 1-3 minggu)
- pada anak kecil sering terjadi salah diagnosis.
o Infeksi persisten (berkepanjangan)
Penyakit berlangsung selama lebih dari 5 minggu.
o Infeksi ambulatory (berjalan, atau berkelanjutan)
Gejala seperti pada infeksi ringan, namun ada pendarahan usus atau perforasi.
o Infeksi fulminan (akut dan parah)
Kejadian cepat, keracunan parah dan septicemia (keracunan pada darah). Terjadi demam tinggi, menggigil, kegagalan sirkulasi, syok, mengigau, koma, myocarditis (inflamasi otot jantung, pada kasus ini karena toksin bakteri), serta pendarahan usus.
o Infeksi ringan :
- suhu sekitar 380C
- periode sakit sebentar (penyembuhan 1-3 minggu)
- pada anak kecil sering terjadi salah diagnosis.
o Infeksi persisten (berkepanjangan)
Penyakit berlangsung selama lebih dari 5 minggu.
o Infeksi ambulatory (berjalan, atau berkelanjutan)
Gejala seperti pada infeksi ringan, namun ada pendarahan usus atau perforasi.
o Infeksi fulminan (akut dan parah)
Kejadian cepat, keracunan parah dan septicemia (keracunan pada darah). Terjadi demam tinggi, menggigil, kegagalan sirkulasi, syok, mengigau, koma, myocarditis (inflamasi otot jantung, pada kasus ini karena toksin bakteri), serta pendarahan usus.
Manifestasi khusus :
o Pada anak-anak :
- sering tidak khas
- kejadian tiba-tiba dengan demam tinggi
- dominan pada gejala di saluran pernafasan dan diare
- bradikardi relatif jarang
- splenomegali, roseola, dan leukopeni jarang ditemui.
o Pada lansia :
- suhu tubuh tidak tinggi, lebih sering lemas
- sering mengakibatkan komplikasi
- angka kematian tinggi
o Pada anak-anak :
- sering tidak khas
- kejadian tiba-tiba dengan demam tinggi
- dominan pada gejala di saluran pernafasan dan diare
- bradikardi relatif jarang
- splenomegali, roseola, dan leukopeni jarang ditemui.
o Pada lansia :
- suhu tubuh tidak tinggi, lebih sering lemas
- sering mengakibatkan komplikasi
- angka kematian tinggi
Komplikasi dapat berupa :
o Pendarahan usus
Biasa terjadi selama minggu ke-2 dan 3, juga berbeda antara pendarahan ringan dan hebat. 2-8% terjadi pendarahan serius. Penurunan suhu tubuh yang mendadak, peningkatan nadi, dan syok, biasanya diikuti dengan pengeluaran tinja dengan darah atau berwarna hitam.
o Perforasi usus
Lebih serius, dengan insidensi 1-4%. Sering muncul pada minggu ke-2 dan 3, pada bagian bawah akhir ileum. Nyeri perut, diare, dan pendarahan usus sering terjadi sebelum perforasi.
Saat terjadi perforasi, terjadi nyeri perut, berkeringat, suhu tubuh turun drastis, dan peningkatan denyut nadi, kemudian ketika perut ditekan, agak keras, otot perut kejang, berkurang atau bahkan hilangnya bunyi hati, peritonitis, dan leukositosis (peningkatan sel darah putih di darah).
o Hepatitis toksik
Biasa muncul minggu ke-1 sampai 3. terjadi pembesaran hati (hepatomegali) dan meningkatnya enzim ALT (Alanin aminotransferase).
o Myocarditis toksik
Terlihat pada minggu ke-2 dan 3, pada penderita dengan toksemia yang parah.
o Bronkitis dan bronkopnuemonia
Terlihat pada tahap awal.
o Komplikasi lain : encephalopathy, sindroma hemolitik uremia, kolesistitis akut, meningitis, dan nefritis.
o Pendarahan usus
Biasa terjadi selama minggu ke-2 dan 3, juga berbeda antara pendarahan ringan dan hebat. 2-8% terjadi pendarahan serius. Penurunan suhu tubuh yang mendadak, peningkatan nadi, dan syok, biasanya diikuti dengan pengeluaran tinja dengan darah atau berwarna hitam.
o Perforasi usus
Lebih serius, dengan insidensi 1-4%. Sering muncul pada minggu ke-2 dan 3, pada bagian bawah akhir ileum. Nyeri perut, diare, dan pendarahan usus sering terjadi sebelum perforasi.
Saat terjadi perforasi, terjadi nyeri perut, berkeringat, suhu tubuh turun drastis, dan peningkatan denyut nadi, kemudian ketika perut ditekan, agak keras, otot perut kejang, berkurang atau bahkan hilangnya bunyi hati, peritonitis, dan leukositosis (peningkatan sel darah putih di darah).
o Hepatitis toksik
Biasa muncul minggu ke-1 sampai 3. terjadi pembesaran hati (hepatomegali) dan meningkatnya enzim ALT (Alanin aminotransferase).
o Myocarditis toksik
Terlihat pada minggu ke-2 dan 3, pada penderita dengan toksemia yang parah.
o Bronkitis dan bronkopnuemonia
Terlihat pada tahap awal.
o Komplikasi lain : encephalopathy, sindroma hemolitik uremia, kolesistitis akut, meningitis, dan nefritis.
3.9. Diagnosis
Spesimen yang diperiksa :15o Darah
Terdeteksi adanya bakteri S. Typhi setelah adanya bakteremia pertama terjadi.
o Kotoran
Diambil dari penderita akut dan biasanya digunakan untuk mendiagnosis penderita tifus carrier.
3.10. Treatment
Pada penderita umumnya :
o Isolasi dan istirahat (isolasi dalam arti tidak dijenguk oleh orang banyak)
o Perawatan dan pengobatan yang baik
- Observasi suhu, tekanan darah, kondisi perut dan kotoran.
- Memberikan diet yang sesuai (makanan yang mudah dicerna atau semi cair, serta minum banyak air)
- Injeksi intravena untuk menjaga keseimbangan cairan, asam-basa, dan elektrolit.
o Isolasi dan istirahat (isolasi dalam arti tidak dijenguk oleh orang banyak)
o Perawatan dan pengobatan yang baik
- Observasi suhu, tekanan darah, kondisi perut dan kotoran.
- Memberikan diet yang sesuai (makanan yang mudah dicerna atau semi cair, serta minum banyak air)
- Injeksi intravena untuk menjaga keseimbangan cairan, asam-basa, dan elektrolit.
Dengan gejala dengan tinggi :
o Pemeriksaan fisik
o Obat penurun suhu badan, seperti aspirin harus diberikan dengan hati-hati
o Mengigau, koma, atau syok, diberikan 2-4mg dexamethasone untuk mengurangi kesakitan.
o Pemeriksaan fisik
o Obat penurun suhu badan, seperti aspirin harus diberikan dengan hati-hati
o Mengigau, koma, atau syok, diberikan 2-4mg dexamethasone untuk mengurangi kesakitan.
Pada penderita dengan komplikasi :
o Pendarahan usus :
- istirahat, hentikan pemberian makan, pemeriksaan ketat suhu, tekanan darah, dll.
- pemberian elektrolit intravena dan transfusi darah, serta perhatikan keseimbangan asam-basa.
- Kadang, dengan operasi.
o Perforasi :
- hentikan pemberian makan
- menurunkan tekanan di perut
- injeksi intravena untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan asam-basa
- penggunaan antibibotik
- kadang, dengan operasi
o Pendarahan usus :
- istirahat, hentikan pemberian makan, pemeriksaan ketat suhu, tekanan darah, dll.
- pemberian elektrolit intravena dan transfusi darah, serta perhatikan keseimbangan asam-basa.
- Kadang, dengan operasi.
o Perforasi :
- hentikan pemberian makan
- menurunkan tekanan di perut
- injeksi intravena untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan asam-basa
- penggunaan antibibotik
- kadang, dengan operasi
Profilaksis
Merupakan tindakan untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyebaran penyakit, seperti :
o Mengontrol sumber infeksi
- mengisolasi dan mengobati penderita
- pemeriksaan kotoran 5 hari sekali
- jika negatif, diperiksa 2 kali lagi tanpa isolasi.
o Mengontrol carrier
Dengan mengobservasi selama 25 hari jika melakukan kontak dengan penderita
o Memotong jalur transmisi
Merupakan jalur kunci, dapat dilakukan dengan menghindari makanan dan minuman yang tidak diberi perlakuan terlebih dahulu dan menjaga kebersihan, seperti : 16- Mencuci tangan dengan sabun dan air hangat, terutama setelah manangani telur, unggas, dan daging mentah.
- Menggunakan sabun antibakteri
- Minum air yang telah terklirinasi, mencuci produk pangan, dan tidak mengonsumsi makanan tidak matang.
- Menghindari kontak langsung dengan hewan pembawa Salmonella.
o Vaksinasi16, 17Vaksinasi rutin disarankan untuk US, terutama pada travelers yang pergi ke daerah dengan resiko terpaparnya S. Typhi yang tinggi, orang yang meneliti S. Typhi di laboratorium mikrobiologi, dan orang yang tinggal di daerah penderita carrier.
Merupakan tindakan untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyebaran penyakit, seperti :
o Mengontrol sumber infeksi
- mengisolasi dan mengobati penderita
- pemeriksaan kotoran 5 hari sekali
- jika negatif, diperiksa 2 kali lagi tanpa isolasi.
o Mengontrol carrier
Dengan mengobservasi selama 25 hari jika melakukan kontak dengan penderita
o Memotong jalur transmisi
Merupakan jalur kunci, dapat dilakukan dengan menghindari makanan dan minuman yang tidak diberi perlakuan terlebih dahulu dan menjaga kebersihan, seperti : 16- Mencuci tangan dengan sabun dan air hangat, terutama setelah manangani telur, unggas, dan daging mentah.
- Menggunakan sabun antibakteri
- Minum air yang telah terklirinasi, mencuci produk pangan, dan tidak mengonsumsi makanan tidak matang.
- Menghindari kontak langsung dengan hewan pembawa Salmonella.
o Vaksinasi16, 17Vaksinasi rutin disarankan untuk US, terutama pada travelers yang pergi ke daerah dengan resiko terpaparnya S. Typhi yang tinggi, orang yang meneliti S. Typhi di laboratorium mikrobiologi, dan orang yang tinggal di daerah penderita carrier.
BAB 4
ZAT ALAMI ANTI Salmonella typhi
ZAT ALAMI ANTI Salmonella typhi
4.1. Ekstrak Bawang Putih19
Tahun 1858, seorang bakteriologi terkenal dari Prancis bernama Louis Pasteur (1822 – 1895) dilaporkan menemukan aktivitas antibakteri pada bawang putih. Tahun 1994, sebuah penelitian mengiosolasi alisin, agen aktif dari bawang putih. Ekstrak alisin dapat menghambat pertumbuhan S. typhi. Rebusan bawang putih kurang efektif karena alisin terdenaturasi oleh panas tinggi.
Tahun 1858, seorang bakteriologi terkenal dari Prancis bernama Louis Pasteur (1822 – 1895) dilaporkan menemukan aktivitas antibakteri pada bawang putih. Tahun 1994, sebuah penelitian mengiosolasi alisin, agen aktif dari bawang putih. Ekstrak alisin dapat menghambat pertumbuhan S. typhi. Rebusan bawang putih kurang efektif karena alisin terdenaturasi oleh panas tinggi.
4.2. Seduhan Teh Hitam20
Teh hitam dibuat dari pucuk daun muda tanaman teh (Camellia sinensis) yang dibiarkan menjadi layu sebelum digulung, difermentasi (oksidasi enzimatis), kemudian dikeringkan. Dalam proses produksi teh hitam, proses oksimatis (oksidasi enzimatis) berlangsung penuh, yang menyebabkan daun-daun teh berubah menjadi hitam dan memberi rasa khas. Teh hitam (Camellia sinensis) mengandung rata-rata 3% kafein, derivat-derivat ksantin lainnya, yaitu theofilin dan theobromin, antara 7-15% tannin, polifenol, flavonoida (katekin, flavonol, dll), 0,5-1% zat-zat aroma (minyak terbang, antara lain geraniol). Katekin merupakan pemburu ROS (reactive oxygen species) yang efektif dan berfungsi sebagai antioksidan melalui efeknya pada faktor transkripsi dan aktifitas enzim. Teh hitam juga mengandung theaflavin dan thearubigin yang merupakan hasil oksidasi katekin akibat proses oksimatis pada pengolahan teh hitam. Theaflavin memiliki potensi dalam memproduksi NO dan vasorelaksasi yang lebih tinggi dari EGCG yang terkandung dalam katekin. Selain itu theaflavin juga merupakan antioksidan alami yang sangat potensial. Thearubigin merupakan stimulator vasodilatasi dan produksi NO yang sangat efisien. Zat-zat dalam teh hitam inilah yang berfungsi sebagai imunomodulator yang dapat meningkatkan kemampuan makrofag sehingga makrofag akan mensekresi NO sebagai sel efektor untuk membunuh bakteri Salmonella typhi.
Teh hitam dibuat dari pucuk daun muda tanaman teh (Camellia sinensis) yang dibiarkan menjadi layu sebelum digulung, difermentasi (oksidasi enzimatis), kemudian dikeringkan. Dalam proses produksi teh hitam, proses oksimatis (oksidasi enzimatis) berlangsung penuh, yang menyebabkan daun-daun teh berubah menjadi hitam dan memberi rasa khas. Teh hitam (Camellia sinensis) mengandung rata-rata 3% kafein, derivat-derivat ksantin lainnya, yaitu theofilin dan theobromin, antara 7-15% tannin, polifenol, flavonoida (katekin, flavonol, dll), 0,5-1% zat-zat aroma (minyak terbang, antara lain geraniol). Katekin merupakan pemburu ROS (reactive oxygen species) yang efektif dan berfungsi sebagai antioksidan melalui efeknya pada faktor transkripsi dan aktifitas enzim. Teh hitam juga mengandung theaflavin dan thearubigin yang merupakan hasil oksidasi katekin akibat proses oksimatis pada pengolahan teh hitam. Theaflavin memiliki potensi dalam memproduksi NO dan vasorelaksasi yang lebih tinggi dari EGCG yang terkandung dalam katekin. Selain itu theaflavin juga merupakan antioksidan alami yang sangat potensial. Thearubigin merupakan stimulator vasodilatasi dan produksi NO yang sangat efisien. Zat-zat dalam teh hitam inilah yang berfungsi sebagai imunomodulator yang dapat meningkatkan kemampuan makrofag sehingga makrofag akan mensekresi NO sebagai sel efektor untuk membunuh bakteri Salmonella typhi.
4.3. Jus Aloe vera21
Aloe vera (AV) merupakan tanaman sekulen dan perenial yang tahan terhadap kekerigan. AV memiliki berbagai efek fisiologis terhadap tubuh seperti sebagai antioksidatif, antikarsinogenik, dermatitis, antivirus, pemulihan ulcerasi, antiinflamasi, mempengaruhi fungsi hepar dan memodulasi sistem imun.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa polisakarida yang dikandung oleh AV (β-1,3 ; β-glucan dan β-1,4 yang dikenal sebagai acemannan) merupakan senyawa yang bersifat imunomodulator. Efek imunostimulator yang telah dibuktikan secara in vitro adalah memacu dan meningkatkan aktivitas makrofag dan monosit, menstimulasi sel T dan memacu aktivitas candidacidal makrofag.
Selain itu, AV diketahui dapat memacu makrofag untuk melepas interleukin-1 (IL-1), IL-6, tumor nekrosis alpha (TNF-α), dan interferon gamma (INF-γ). Penelitian lain juga membuktikan bahwa acemannan, selain mampu meningkatkan aktivasi makrofag, juga meningkatkan sintesis NO yang dipapar dengan Candida, induksi terjadi melalui NO sythase pada level transkripsi.
Dengan meningkatknya aktivitas makrofag, stimulasi sel T, sitokin-sitokin yang dilepas oleh makrofag yang berkaitan dengan proses fagositosis dan killing oleh makrofag, maka diharapkan respon imun akan terpacu untuk mengeliminasi bakteri patogen intraseluler, terutama Salmonella typhi.
Aloe vera (AV) merupakan tanaman sekulen dan perenial yang tahan terhadap kekerigan. AV memiliki berbagai efek fisiologis terhadap tubuh seperti sebagai antioksidatif, antikarsinogenik, dermatitis, antivirus, pemulihan ulcerasi, antiinflamasi, mempengaruhi fungsi hepar dan memodulasi sistem imun.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa polisakarida yang dikandung oleh AV (β-1,3 ; β-glucan dan β-1,4 yang dikenal sebagai acemannan) merupakan senyawa yang bersifat imunomodulator. Efek imunostimulator yang telah dibuktikan secara in vitro adalah memacu dan meningkatkan aktivitas makrofag dan monosit, menstimulasi sel T dan memacu aktivitas candidacidal makrofag.
Selain itu, AV diketahui dapat memacu makrofag untuk melepas interleukin-1 (IL-1), IL-6, tumor nekrosis alpha (TNF-α), dan interferon gamma (INF-γ). Penelitian lain juga membuktikan bahwa acemannan, selain mampu meningkatkan aktivasi makrofag, juga meningkatkan sintesis NO yang dipapar dengan Candida, induksi terjadi melalui NO sythase pada level transkripsi.
Dengan meningkatknya aktivitas makrofag, stimulasi sel T, sitokin-sitokin yang dilepas oleh makrofag yang berkaitan dengan proses fagositosis dan killing oleh makrofag, maka diharapkan respon imun akan terpacu untuk mengeliminasi bakteri patogen intraseluler, terutama Salmonella typhi.
4.4. Ekstrak Jintan Hitam22
Nigella sativa (N. sativa) merupakan tanaman obat yang dikenal di Indonesia dengan nama jintan hitam. Dalam berbagai penelitian, minyak biji jintan hitam menunjukkan khasiat sebagai antikanker, antiradikal bebas dan immunomodulator, analgesik, antimikroba, antiinflamasi, spasmolitik, bronkhodilator, hepatoprotektif dan antihipertensi. Efek antibakterial fenolic fraction minyak Nigella sativa pertama kali dilaporkan oleh Topozada et al. Thymohydroquinone kemudian diisolasi dan ditemukan memiliki aktivitas tinggi melawan mikroorganisme gram positif, sementara ekstrak Nigella sativa sendiri ditemukan memiliki efek terhadap organisme multiresisten, termasuk bakteri gram positif dan gram negatif.
Thymoquinone merupakan zat aktif utama volatile oil dari ekstrak Nigella sativa dan paling berperan dalam aktivitas biologinya. Dalam berbagai penelitian, minyak Nigella sativa dan zat aktifnya memiliki efek imunomodulator yang menguntungkan, yaitu meningkatkan respon imun yang dimediasi sel T dan sel NK. Nigella sativa juga meningkatkan ratio Th:Ts. Pada penelitian lain telah dibuktikan bahwa minyak Nigella sativa meningkatkan pertumbuhan sel B melalui peningkatan IL-3, serta merangsang aktivitas makrofag dengan peningkatan IL-1β.
Dengan meningkatnya respon imun yang dimediasi sel T dan sel NK, ratio Th:Ts dan pertumbuhan sel B, maka diharapkan dapat mempengaruhi respon proliferasi limfosit limpa yang diinfeksi Salmonella typhi.
Nigella sativa (N. sativa) merupakan tanaman obat yang dikenal di Indonesia dengan nama jintan hitam. Dalam berbagai penelitian, minyak biji jintan hitam menunjukkan khasiat sebagai antikanker, antiradikal bebas dan immunomodulator, analgesik, antimikroba, antiinflamasi, spasmolitik, bronkhodilator, hepatoprotektif dan antihipertensi. Efek antibakterial fenolic fraction minyak Nigella sativa pertama kali dilaporkan oleh Topozada et al. Thymohydroquinone kemudian diisolasi dan ditemukan memiliki aktivitas tinggi melawan mikroorganisme gram positif, sementara ekstrak Nigella sativa sendiri ditemukan memiliki efek terhadap organisme multiresisten, termasuk bakteri gram positif dan gram negatif.
Thymoquinone merupakan zat aktif utama volatile oil dari ekstrak Nigella sativa dan paling berperan dalam aktivitas biologinya. Dalam berbagai penelitian, minyak Nigella sativa dan zat aktifnya memiliki efek imunomodulator yang menguntungkan, yaitu meningkatkan respon imun yang dimediasi sel T dan sel NK. Nigella sativa juga meningkatkan ratio Th:Ts. Pada penelitian lain telah dibuktikan bahwa minyak Nigella sativa meningkatkan pertumbuhan sel B melalui peningkatan IL-3, serta merangsang aktivitas makrofag dengan peningkatan IL-1β.
Dengan meningkatnya respon imun yang dimediasi sel T dan sel NK, ratio Th:Ts dan pertumbuhan sel B, maka diharapkan dapat mempengaruhi respon proliferasi limfosit limpa yang diinfeksi Salmonella typhi.
DAFTAR PUSTAKA
1) Rasmilah. Typhus. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 2001: 1.
2) Poeloengan Masniari, Iyep Komala dan Susan M. Noor. Bahaya Salmonella terhadap Kesehatan. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonois. Balai Penelitian Veteriner.
3) Nuryanti Zainudin. Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor (Tesis). Institut Pertanian Bogor; 2009.
4) Hertati Eko Wardani. Pengaruh Pemberian Diet dengan Berbagai Kandungan Seng terhadap Respon Imunitas Seluler Mencit Balb/C yang Diinfeksi Salmonella typhimurium (Tesis). Universitas Diponegoro; 2005.
5) Damianus L. Edhi S. Salmonella typhimurium, Sang Juara Penginfeksi dari Genus Salmonella. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
6) Rhen Mikael, Duncan Maskell, Pietro Mastroeni dan Jhon Threlfall. Salmonella: Molecular Biology and Pathogenesis. United Kingdom (UK): Horizon Bioscience; 2007: 12, 13.
7) Landau, Elaine. Food Poisoning and Foodborne Disease. United States of America : Lerner Publishing Group, Inc. 2011 : 2.
8) Knechtges, Paul L. . Food Safety : Theory and Practice. United States of America : Jones & Barlett Learning. 2012 : 25, 27.
9) Caper, William. 2011. Typhoid Fever : Dirty Food, Dirty Water! United States of America : Bearport Publishing Company, Inc.
10) Hunter, Beatrice Trum. 2009. Infectious Connections : How Short-Term Foodborne Infections Can Lead to Long-Term Health Problems. United States of America : Basic Health Publications, Inc.
11) http://www.medicinenet.com/salmonella/article.htm
12) Washington State Department of Health. Typhoid (“enteric”) Fever. 2011.
13) Ali, Soegianto. 1967. Typhoid Fever : Aspects of Environment, Host, and Pathogen Interaction. Jakarta.
14) http://salmonellatyphi.org/
15) World Health Organization. 2003. The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. Switzerland.
16) Davis, Jeffrey P. and M.D. Dixie E. Snider. 1994. Typhoid Immunization Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). Atlanta : CDC.
17) Levine, Myron M. And Marcelo B. Sztein. 1996. Human Mucosal Vaccines for Salmonella typhi Infections. Maryland : Academic Press, Inc.
18) http://www.britannica.com/EBchecked/topic/611776/typhoid-fever#ref203207
19) Hunter Beatrice Trum. Infectious Connections: How Short-Term Foodborne Infections Can Lead to Long-Term Health Problem Vol. 2. United State of America: Read How You Want; 2010: 10.
20) Aurelia Maria. Pengaruh Pemberian Seduhan Teh Hitam (Camellia sinensis) Dosis Bertingkat terhadap Produksi NO Makrofag Mencit Balb/C yang Diinokulasi Salmonella typhimurium (Skripsi). Universitas Diponegoro; 2009.
21) Suharni. Pengaruh Jus Aloe vera terhadap Kemampuan Fagositosis Makrofag dan Produksi Nitric Oxide Mencit Balb/C yang Diinfeksi Salmonella typhimurium (Tesis). Universitas Diponegoro; 2004.
22) Nur Khasanah. Pengaruh Pemberian Ekstrak Jintan Hitam (Nigella sativa) terhadap Respon Proliferasi Limfosit Limpa Mencit Balb/C yang Diinfeksi Salmonella typhimurium (Skripsi). Universitas Diponegoro; 2009.
23) Ray, Kurt. Typhoid Fever. New York, United States of America : The Rosen Publishing Group, Inc. 2002 : 4.
Tuesday, April 17, 2012
MAKALAH MIKROBIOLOGI PANGAN
CANDIDA KRUSEI
CANDIDA KRUSEI
Oleh:
Andriana Murdi H. 22030110120035
Liem Felicia O. 22030110130068
Regina A. Rodriques 22030110141009
Ruth Karlina 22030110141022
Andriana Murdi H. 22030110120035
Liem Felicia O. 22030110130068
Regina A. Rodriques 22030110141009
Ruth Karlina 22030110141022
PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2012
I. Pendahuluan
Khamir (yeast) adalah salah satu mikroorganisme yang termasuk dalam golongan fungi yang dibedakan bentuknya dari kapang karena berbentuk uniseluler. Reproduksi vegetatif khamir terutama dengan cara pertunasan. Sebagai sel tunggal khamir tumbuh dan berkembang biak lebih cepat dibanding kapang yang tumbuh dengan pembentukan filamen. Pertumbuhan khamir pada media bahan pangan tergantung pada sifat fisiologisnya, umumnya khamir tumbuh pada kondisi cukup air dan tidak berlebihan (Anonymous 2009).
Khamir sangat mudah dibedakan dengan mikroorganisme lain karena jika dibandingkan dengan bakteri, khamir mempunyai ukuran sel yang lebih besar dan morfologi yang berbeda. Sedangkan dengan protozoa, khamir mempunyai dinding sel yang lebih kuat serta tidak melakukan fotosintesis bila dibandingkan dengan ganggang atau algae. Dibandingkan dengan kapang dalam pemecahan bahan komponen kimia, khamir lebih efektif memecah dan memiliki permukaan lebih luas serta volume hasilnya lebih banyak.
Khamir dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan sifat metabolismenya, yaitu bersifat fermentatif dan oksidatif. Jenis fermentatif dapat melakukan fermentasi alkohol yaitu memecah gula (glukosa) menjadi alkohol dan gas contohnya pada produk roti. Sedangkan oksidatif (respirasi) maka akan menghasilkan karbondioksida dan air.
Khamir digolongkan dalam tiga familia yaitu Saccharomyecetaceae, Sporabolomycetaceae, dan Cryptococcaceae. Ciri khas organisme ini adalah reproduksi vegetatifnya yang disebut budding atau penyembulan meskipun reproduksi dengan pembelahan dan pembentukan spora dapat berlangsung namun akan selalu terdapat cara budding. Reproduksi seksual terjadi dengan perkawinan yang diikuti dengan produksi spora seksual yang terletak pada kantung spora yang disbut askus. Khamir sering dijumpai dalam bentuk tunggal, tapi bila sel anaknya tidak lepas dari sel induk setelah pembelahan, maka akan terjadi bentuk yang disebut pseudomiselium (Schelegel, 1994). Jenis Candida krusei dimasukkan pada Saccharomyecetaceae
Candida krusei adalah suatu jenis khamir yang memiliki genus sama dengan C. Albicans, yang menjadi penyebab utama infeksi atau peradangan pada manusia. Menurut Wickets, C. Krusei berbentuk batang atau basil dan memiliki 5 buah kromosom. C. krusei dapat tumbuh optimal pada suhu 37oC. C. Krusei melakukan fermentasi glukosa, melalui test urease didapat hasil positif (+) hal ini menunjukkan bahwa C. Krusei menghasilkan enzim urease. (Lay, B.W., 1994)
Khamir sangat mudah dibedakan dengan mikroorganisme lain karena jika dibandingkan dengan bakteri, khamir mempunyai ukuran sel yang lebih besar dan morfologi yang berbeda. Sedangkan dengan protozoa, khamir mempunyai dinding sel yang lebih kuat serta tidak melakukan fotosintesis bila dibandingkan dengan ganggang atau algae. Dibandingkan dengan kapang dalam pemecahan bahan komponen kimia, khamir lebih efektif memecah dan memiliki permukaan lebih luas serta volume hasilnya lebih banyak.
Khamir dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan sifat metabolismenya, yaitu bersifat fermentatif dan oksidatif. Jenis fermentatif dapat melakukan fermentasi alkohol yaitu memecah gula (glukosa) menjadi alkohol dan gas contohnya pada produk roti. Sedangkan oksidatif (respirasi) maka akan menghasilkan karbondioksida dan air.
Khamir digolongkan dalam tiga familia yaitu Saccharomyecetaceae, Sporabolomycetaceae, dan Cryptococcaceae. Ciri khas organisme ini adalah reproduksi vegetatifnya yang disebut budding atau penyembulan meskipun reproduksi dengan pembelahan dan pembentukan spora dapat berlangsung namun akan selalu terdapat cara budding. Reproduksi seksual terjadi dengan perkawinan yang diikuti dengan produksi spora seksual yang terletak pada kantung spora yang disbut askus. Khamir sering dijumpai dalam bentuk tunggal, tapi bila sel anaknya tidak lepas dari sel induk setelah pembelahan, maka akan terjadi bentuk yang disebut pseudomiselium (Schelegel, 1994). Jenis Candida krusei dimasukkan pada Saccharomyecetaceae
Candida krusei adalah suatu jenis khamir yang memiliki genus sama dengan C. Albicans, yang menjadi penyebab utama infeksi atau peradangan pada manusia. Menurut Wickets, C. Krusei berbentuk batang atau basil dan memiliki 5 buah kromosom. C. krusei dapat tumbuh optimal pada suhu 37oC. C. Krusei melakukan fermentasi glukosa, melalui test urease didapat hasil positif (+) hal ini menunjukkan bahwa C. Krusei menghasilkan enzim urease. (Lay, B.W., 1994)
II. Taksonomi dari Candida krusei
Kingdom = Fungi
Phlyum = Ascomycota
Subphylum =Saccharomycotina
Class = Saccharomycetes
Order = Saccharomycetales
Family = Saccaromycetaceae
Genus = Candida
Species = C. Krusei
Phlyum = Ascomycota
Subphylum =Saccharomycotina
Class = Saccharomycetes
Order = Saccharomycetales
Family = Saccaromycetaceae
Genus = Candida
Species = C. Krusei
Memiliki nama Ilmiah Issatchenkia orientalis dengan nama sinonimnya Candida krusei. Nama lain dari jamur ini adalah Candida acidothermophilum, Pichia kudriavzevii, Pichia kudriavzevii Boidin, (Pignal & Besson 1965), dan Saccharomyces spp.
III. Morfolgi
Morfologi makrospkopis: berbentuk koloni, halus, dapat tumbuh sampai 42 o C (diisolasikan pada agar), dan tidak bisa tumbuh pada media yang mengandung cycloheximide.
Morfologi mikroskopis: diinkubsikan pada suhu 25°C pada olahan jagung selama 72 jam, menunjukkan pertumbuhan pseudohyphae yang berlebihan dengan bentuk cabang yang sedang.
Morfologi mikroskopis: diinkubsikan pada suhu 25°C pada olahan jagung selama 72 jam, menunjukkan pertumbuhan pseudohyphae yang berlebihan dengan bentuk cabang yang sedang.
Gbr. 1,2,3 Morfologi Candida krusei atau Issatchenkia orientalis
Berbeda dengan mayoritas spesies Candida lainnya yang berbentuk bulat telur, sel-sel C. Krusei umumnya memanjang dan memiliki penampilan "panjang beras" (batang atau basil). C. Krusei memiliki dinding sel berlapis-lapis yang terdiri dari enam lapisan dan beberapa organel seperti vesikel kecil, droplet lipid, ribosom dan kelompok granula intra-sitoplasma, seperti glikogen. Dinding sel berlapis-lapis terdiri dari sebuah mantel luar yang tidak teratur dan berambut. Lapisan luar berambut muncul di beberapa isolat sebagai ekstensi ekstraseluler yang menghubungkan sel-sel individual, terutama selama pertumbuhan koloni pada media padat.
IV. Kegunaan
C. krusei ditemukan pada tanah di Jepang, yoghurt di Portugal, bir Jahe di Afrika Barat, pada fermentasi kokoa di Ghana dan India Barat, miso homare di jepang, fermentasi ekstrak tamarin, ragi roti di Finlandia, bir teh, jus buah, dll.
1. Fermentasi biji kakao
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kakao, sebagian besar produksi kakao Indonesia diekspor dengan tujuan Amerika, Singapura, Malaysia, Brasil, dan Cina. Namun konsumen pasar Eropa menilai mutu kakao Indonesia sangat kurang, sehingga ekspor kakao Indonesia selain tidak mendapat premi juga mengalami penurunan harga yang cukup tinggi. Mutu yang kurang disebabkan karena kandungan lemak biji kakao Indonesia yang rendah sekitar 50% – 52% dari berat kering, sedangkan pada umumnya yang dikehendaki pasar Eropa adalah biji kakao yang berkadar lemak tidak kurang dari 55% dari berat kering. Selain itu biji kakao Indonesia tidak memiliki aroma khas kakao, dikarenakan biji kakao tidak difermentasikan terlebih dahulu (Atmana,1996).
Pentingnya fermentasi pada biji kakao dikarenakan pada proses ini dihasilkan calon senyawa aroma khas cokelat. Selain itu selama proses ini terjadi penurunan kadar polifenol yang dapat menurunkan rasa kelat (pahit), namun proses fermentasi tidak boleh berlebihan (over fermentation) karena selain merusak citarasa dan aroma, juga akan terjadi pembentukan warna yang berlebihan. Perubahan senyawa selama fermentasi ini tidak lepas dari aktivitas enzimatis mikroorganisme, yang berperan untuk memecah gula menjadi alkohol dan selanjutnya terjadi pemecahan alkohol mejadi asam asetat. Pada awal fermentasi, mikroorganisme yang aktif adalah khamir (yeast) yang memecah sukrosa, glukosa dan fruktosa menjadi etanol. Bersamaan dengan hal itu, terjadi pula pemecahan pektin dan metabolisme asam organik. Aktivitas selanjutnya dilakukan beberapa jenis bakteri asam laktat dan asam asetat yang memecah etanol menjadi asam laktat. Selain itu juga dihasilkan asam asetat, dan asam organik lain seperti asam sitrat dan malat (Atmana, 2000).
Dalam produksi, coklat harus difermentasi untuk menghilangkan rasa pahit dan mencegah agar coklat tidak pecah. Hal tersebut dilakukan oleh Candida krusei (Yoga Wirantara.2008). Dalam peranan spesies, Candida krusei digunakan dalam penghilang rasa pahit dalam biji kakao yang bisa membuat coklat yang di produksi dalam pemasarannya tidak mengandung rasa pahit seperti biji kakao yang sebenarnya.
Biji kakao merupakan bahan mentah dalam rantai proses produksi coklat. Biji kakao ini terdapat didalam kantong buah kakao itu sendiri pada pohon Theobroma cacao, yang biasa ditanam pada daerah tropis. Setelah masa panen, bijinya dikeluarkan dari buahnya dan ditempatkan dalam kotak-kotak kayu, pada nampan yang ditutupi dengan daun dari pohon kakao.
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kakao, sebagian besar produksi kakao Indonesia diekspor dengan tujuan Amerika, Singapura, Malaysia, Brasil, dan Cina. Namun konsumen pasar Eropa menilai mutu kakao Indonesia sangat kurang, sehingga ekspor kakao Indonesia selain tidak mendapat premi juga mengalami penurunan harga yang cukup tinggi. Mutu yang kurang disebabkan karena kandungan lemak biji kakao Indonesia yang rendah sekitar 50% – 52% dari berat kering, sedangkan pada umumnya yang dikehendaki pasar Eropa adalah biji kakao yang berkadar lemak tidak kurang dari 55% dari berat kering. Selain itu biji kakao Indonesia tidak memiliki aroma khas kakao, dikarenakan biji kakao tidak difermentasikan terlebih dahulu (Atmana,1996).
Pentingnya fermentasi pada biji kakao dikarenakan pada proses ini dihasilkan calon senyawa aroma khas cokelat. Selain itu selama proses ini terjadi penurunan kadar polifenol yang dapat menurunkan rasa kelat (pahit), namun proses fermentasi tidak boleh berlebihan (over fermentation) karena selain merusak citarasa dan aroma, juga akan terjadi pembentukan warna yang berlebihan. Perubahan senyawa selama fermentasi ini tidak lepas dari aktivitas enzimatis mikroorganisme, yang berperan untuk memecah gula menjadi alkohol dan selanjutnya terjadi pemecahan alkohol mejadi asam asetat. Pada awal fermentasi, mikroorganisme yang aktif adalah khamir (yeast) yang memecah sukrosa, glukosa dan fruktosa menjadi etanol. Bersamaan dengan hal itu, terjadi pula pemecahan pektin dan metabolisme asam organik. Aktivitas selanjutnya dilakukan beberapa jenis bakteri asam laktat dan asam asetat yang memecah etanol menjadi asam laktat. Selain itu juga dihasilkan asam asetat, dan asam organik lain seperti asam sitrat dan malat (Atmana, 2000).
Dalam produksi, coklat harus difermentasi untuk menghilangkan rasa pahit dan mencegah agar coklat tidak pecah. Hal tersebut dilakukan oleh Candida krusei (Yoga Wirantara.2008). Dalam peranan spesies, Candida krusei digunakan dalam penghilang rasa pahit dalam biji kakao yang bisa membuat coklat yang di produksi dalam pemasarannya tidak mengandung rasa pahit seperti biji kakao yang sebenarnya.
Biji kakao merupakan bahan mentah dalam rantai proses produksi coklat. Biji kakao ini terdapat didalam kantong buah kakao itu sendiri pada pohon Theobroma cacao, yang biasa ditanam pada daerah tropis. Setelah masa panen, bijinya dikeluarkan dari buahnya dan ditempatkan dalam kotak-kotak kayu, pada nampan yang ditutupi dengan daun dari pohon kakao.
Mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi biji kakao yaitu khamir, bakteri asam cuka, dan bakteri asam laktat. Dengan aktivitas ketiga jenis mikroorganisme ini menyebabkan adanya perubahan enzimatis selama fermentasi. Pada bagian pulp buah (daging buah) terjadi perombakan gula menjadi alkohol oleh khamir dan perombakan alkohol menjadi asam cuka oleh bakteri asam cuka atau bakteri asam susu (Heddy, 1990). Menurut Atmana (1996) dan Nada (1999), pada tahap awal fermentasi mikroorganisme yang paling aktif adalah khamir.
Gbr. 4 Peranan Candida krusei dalam produksi coklat
Gbr. 4 Peranan Candida krusei dalam produksi coklat
Khamir tersebut bereproduksi setiap jam, dan dengan segera menghasilkan beribu-ribu sel jamur individu di suatu area kecil, yang menghasilkan enzim untuk untuk memecah pulp di luar biji (Yoga Wirantara.2008). Hal ini membuat asam asetat, membunuh embrio di dalam biji kakao, pengembangan aroma cokelat dan menghilangkan kepahitan dalam kacang. (Anonymous.2011). Selain itu kehadiran C. krusei juga mempertahankan aktivitas bakteri asam laktat yang berperan dalam fermentasi biji kakao. ( Roostita L. Balia.2004)
Gbr. 5 Pembuatan Tempat Fermentasi Coklat
Untuk menghancurkan dan menghilangkan rasa pahit pada biji kakao, digunakan 2 jenis jamur, C. krusei dan Geotrichum. Biasanya kedua jamur sudah hadir pada benih dan bibit tanaman kakao. Proses fermentasi, yang memakan waktu sampai tujuh hari, juga memproduksi prekursor beberapa rasa, akhirnya mengakibatkan rasa coklat.
2. Pembuatan wine
Asam malat dan asam tartat merupakan asam organik yang banyak dihasilkan jus anggur dan wine. Didapat 3-7 mg/ml asam tartat dan 1-10 mg/ml asam malat dari proses pembuatan wine (Ruffner,1982). Kedua asam ini tidak hanya mempengaruhi 70-90% asam organik lain pada jus anggur dan wine tapi juga mempengaruhi rasa dan kualitas wine (Beelman and Gallander, 1979; Ruffner, 1982; HenickKling, 1993; Radler, 1993; Gao and Fleet, 1995). Hasil yang baik disesuaikan dengan tingkat keasaman dengan rasa dan warna yang optimal (Volschenk et al.,1997, 2001).
Asam malat dan asam tartat merupakan asam organik yang banyak dihasilkan jus anggur dan wine. Didapat 3-7 mg/ml asam tartat dan 1-10 mg/ml asam malat dari proses pembuatan wine (Ruffner,1982). Kedua asam ini tidak hanya mempengaruhi 70-90% asam organik lain pada jus anggur dan wine tapi juga mempengaruhi rasa dan kualitas wine (Beelman and Gallander, 1979; Ruffner, 1982; HenickKling, 1993; Radler, 1993; Gao and Fleet, 1995). Hasil yang baik disesuaikan dengan tingkat keasaman dengan rasa dan warna yang optimal (Volschenk et al.,1997, 2001).
Asam malat dan asam tartat merusak kualitas wine karena mempengaruhi keasaman rasa wine dan mengontaminasi bakteri asam laktat, yang akan menyebabkan kebusukan wine setelah proses pembotolan. C. krusei (Issatchenkia orientalis) merupakan khamir acidophilic yang dapat mendegradasi asam malat secara efisien, sehingga membantu dalam proses pembuatan wine.
3. Kontrol pasca panen mangga
Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Penz. dan Sacc. merupakan jamur (fungal) patogen penyebab antraknosa mangga, yang mengurangi kualitas dan daya jual buah. Mangga mentah dan hijau belum menunjukkan gejala terkena jamur patogen ini, tapi menjelang masa pematangan, terlihat bercak coklat tua atau hitam.
Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Penz. dan Sacc. merupakan jamur (fungal) patogen penyebab antraknosa mangga, yang mengurangi kualitas dan daya jual buah. Mangga mentah dan hijau belum menunjukkan gejala terkena jamur patogen ini, tapi menjelang masa pematangan, terlihat bercak coklat tua atau hitam.
Biasanya digunakan semprotan kimia sebelum dipanen untuk menghilangkan antraknosa. Namun penggunaan kimia dapat menghasilkan residu beracun. Dengan penggunaan Issatchenkia orientalis dapat mengontrol antraknosa mangga pasca panen, dengan mencegah pertumbuhan hifa dan germinasi spora Colletotrichum gloeosporoides.
Gbr. 6 Monograf SEM menunjukkan sel khamir pada permukaan mangga setelah inkubasi 5 hari.
Gbr. 7 Permukaan spora mulai mencekung
.
Gbr. 8 Sel khamir menempel pada permukaan spora C. Gloeosporioides
Gbr. 9 Penambahan Issatchenkia orientalis ditambah perlakuan dengan air panas (hot water treatment) merupakan cara yang paling efektif untuk menghilsngkan lesi antraknosa.
4. Kontrol panen pada grape berry
Beberapa khamir antagonis telah diisolasikan dari buah dan sayur-sayuran sebagai agen biokontrol. Ditemukan strain Issatchenkia orientalis 16C2 dan 2C2 dari grape berry (Vitis vinifera L. Cv. Negroamaro) yang efektif dalam mengurangi kolonisasi dari Aspergillus carbonarius dan Aspergillus niger dalam buah tersebut.
V. Kerugian
Penyebab utama infeksi atau peradangan pada manusia.
Tanda-tanda yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh C. krusei adalah berupa bercak putih pada mulut atau lidah. Bila membran diangkat akan tampak dasar yang kemerahan dan erosif, serta berupa retakan kulit pada sudut mulut, terasa perih dan nyeri bila tersentuh makanan atau air.
Pemeriksaan untuk mengidentifikasi C. Krusei adalah pemeriksaan langsung melalui kerokan kulit, sputum (lendir atau dahak), tinja, urin, sekret vagina yang diperiksa dengan larutan KOH 10% atau dengan pewarnaan Gram yang terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu. Bisa juga dengan pemeriksaan biakan, yaitu bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dektrosa glukosa sabouraud, lalu diberi antibiotik (mencegah pertumbuhan bakteria), disimpan pada suhu 37oC selama 24 jam.
Tanda-tanda yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh C. krusei adalah berupa bercak putih pada mulut atau lidah. Bila membran diangkat akan tampak dasar yang kemerahan dan erosif, serta berupa retakan kulit pada sudut mulut, terasa perih dan nyeri bila tersentuh makanan atau air.
Pemeriksaan untuk mengidentifikasi C. Krusei adalah pemeriksaan langsung melalui kerokan kulit, sputum (lendir atau dahak), tinja, urin, sekret vagina yang diperiksa dengan larutan KOH 10% atau dengan pewarnaan Gram yang terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu. Bisa juga dengan pemeriksaan biakan, yaitu bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dektrosa glukosa sabouraud, lalu diberi antibiotik (mencegah pertumbuhan bakteria), disimpan pada suhu 37oC selama 24 jam.
VI. Daftar Pustaka
1. Stewart-tull. Issatchenkia orientalis. 1966. CBS-KNAW Fungal Biodiversity Centre.
2. Anonimous. Issatchenkia orientalis Taxonomy.Uniprot.
Available fromURL :
http://www.uniprot.org/taxonomy/4909
3. Jomduang, Jinantana dan Vicha Sardsud. Issatchenkia orientalis-Postharvest Application pf the Yeast Issatchenkia orientalis Anthracnose Mango (Jurnal). Rajamangala University of Technology, Lanna.
4. Samaranayake, Yuthika dan L.P. Samaranayake. Candida krusei: Biology, epidemioly, pathogenicity and clinical manifestations of an emerging pathogen (Artikel). Review Article : Clinical Mycology.
5. Wirantara, Yoga. Candida krusei. 2008. Fakultas Farmasi Univeritas Sanata Dharma: Farmasi USD.
6. Kim, Dong-Hwan, Young-Ah Hong dan Heui-Dong Park. 2008. Co-fermentation of grape must by Issatchenkia orientalis and Saccharomyces cerevisiae reduces the malic acid content in wine (Jurnal). Springer Science: Biotechnology Letters Vol. 30 No. 9 .
7. Chanchaichaovivat,Arun dan Pintip Ruenwongsa. 2007. Screening and identification of yeast strains from fruits and vegetables: Potential for biological control of postharvest chili anthracnose-Colletotrichum capsici (Jurnal). Thailand : Mahidol University.
8. C.P., Kurtzman dan J. W. Fell (ed). 2000. The Yeasts (Studi Taksonomi). Amsterdam:Elsevier Scientific B. V.
9. R. , Pelletier dkk. 2005. Emergence of disseminated candidiasis caused by Candida krusei during treatment with caspofungin (Jurnal). Med Mycol.
2. Anonimous. Issatchenkia orientalis Taxonomy.Uniprot.
Available fromURL :
http://www.uniprot.org/taxonomy/4909
3. Jomduang, Jinantana dan Vicha Sardsud. Issatchenkia orientalis-Postharvest Application pf the Yeast Issatchenkia orientalis Anthracnose Mango (Jurnal). Rajamangala University of Technology, Lanna.
4. Samaranayake, Yuthika dan L.P. Samaranayake. Candida krusei: Biology, epidemioly, pathogenicity and clinical manifestations of an emerging pathogen (Artikel). Review Article : Clinical Mycology.
5. Wirantara, Yoga. Candida krusei. 2008. Fakultas Farmasi Univeritas Sanata Dharma: Farmasi USD.
6. Kim, Dong-Hwan, Young-Ah Hong dan Heui-Dong Park. 2008. Co-fermentation of grape must by Issatchenkia orientalis and Saccharomyces cerevisiae reduces the malic acid content in wine (Jurnal). Springer Science: Biotechnology Letters Vol. 30 No. 9 .
7. Chanchaichaovivat,Arun dan Pintip Ruenwongsa. 2007. Screening and identification of yeast strains from fruits and vegetables: Potential for biological control of postharvest chili anthracnose-Colletotrichum capsici (Jurnal). Thailand : Mahidol University.
8. C.P., Kurtzman dan J. W. Fell (ed). 2000. The Yeasts (Studi Taksonomi). Amsterdam:Elsevier Scientific B. V.
9. R. , Pelletier dkk. 2005. Emergence of disseminated candidiasis caused by Candida krusei during treatment with caspofungin (Jurnal). Med Mycol.
Subscribe to:
Posts (Atom)